Laporan
memaknai puisi “aku”
I. Sastrawan
dan Hasil karyanya
Chairil
Anwar
1. Profil

2. Hasil karya
Puisi asli Chairil Anwar
|
||
Judul
|
Ditulis
|
Catatan
|
"1943"
|
1943
|
Diterbitkan
dalam Pandji
Poestaka, 1 Januari 1944
|
"?"
|
24
Juli 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Ajakan"
|
Februari
1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus;
digunakan untuk pidato Anwar di radio pada tahun 1943
|
"Aku"
|
Maret
1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru
Campur Debu; dikenal juga sebagai "Semangat"
|
"Aku"
|
8
Juni 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
("Aku
Berada Kembali")
|
1949
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Serikat, 1949
|
"Aku
Berkisar Antara Mereka"
|
1949
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Ipphos Report, Februari 1949
|
"Bercerai"
|
7
Juni 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"'Betina'-nya
Affandi"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947
|
"Buat
Album D.S."
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru
Campur Debu
|
"Buat
Gadis Rasid"
|
1948
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Siasat, 2 Januari 1949; juga diterbitkan dalam Internasional,
Januari 1949; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan
yang Putus; dikenal juga sebagai "Buat Gadis"
|
"Buat
Nyonya N."
|
1949
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Ipphos Report, Februari 1949
|
"Catastrophe"
|
23
September 1945
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Seroean Noesa, 1946; dalam bahasa Belanda;
Jassin mempertanyakan keaslian puisi tersebut
|
"Catetan
Tahun 1946"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Februari 1947; digabung dalam Deru
Campur Debu dan Tiga Menguak Takdir
|
"Cerita"
|
9
Juni 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Cerita
Buat Dien Tamaela"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 November 1946; digabung dalam Deru
Campur Debu dan Tiga Menguak Takdir
|
"Cintaku
Jauh di Pulau"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru
Campur Debu dan Tiga Menguak Takdir
|
"Dalam
Kereta"
|
15
Maret 1944
|
|
"Dari
Dia"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947
|
"Dendam"
|
13
Juli 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Derai-Derai
Cemara"
|
1949
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Mutiara, 15 Mei 1949; juga diterbitkan dalam Internasional,
Juni 1949; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang
Putus dan Tiga Menguak Takdir; terkadang diterbitkan tanpa judul
|
"Dimesjid"
|
29
Juni 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Diponegoro"
|
Februari
1943
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang
Putus
|
"Doa"
|
13
November 1943
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 November 1946; digabung dalam Deru
Campur Debu
|
"Hampa"
|
14
Mei 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru
Campur Debu
|
"Hukum"
|
Maret
1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Ina
Mia"
|
1948
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Siasat, 26 Desember 1948; digabung dalam Kerikil-Kerikil
Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Isa"
|
12
November 1943
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 November 1946; digabung dalam Deru
Campur Debu
|
"Kabar
dari Laut"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 Januari 1947; digabung dalam Deru
Campur Debu
|
"Kawanku
dan Aku"
|
5
Juni 1943
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pembangoenan, 10 Januari 1946; digabung dalam Kerikil-Kerikil
Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru Campur Debu
|
"Kenangan"
|
19
April 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Kepada
Kawan"
|
30
November 1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Desember 1946
|
"Kepada
Pelukis Affandi"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru
Campur Debu
|
"Kepada
Peminta-Peminta"
|
Juni
1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru
Campur Debu; menurut Jassin, karya tersebut merupakan plagiat dari puisi
"Tot den Arme" ("To the Poor") karya Willem
Elsschot
|
"Kepada
Penyair Bohang"
|
1945
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru
Campur Debu
|
"Kesabaran"
|
April
1943
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pembangoenan, 10 Desember 1945; digabung dalam Kerikil-Kerikil
Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru Campur Debu
|
("Kita
Guyah Lemah")
|
Juli
1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus;
digunakan untuk pidatonya secara terbuka pada tahun 1943
|
"Krawang-Bekasi"
|
1948
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Mimbar Indonesia, 20 November 1948; digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Tiga
Menguak Takdir; juga dikenal sebagai "Kenang, Kenanglah Kami";
menurut Jassin, karya tersebut merupakan plagiat dari puisi "The Young
Dead Soldiers" karya Archibald
MacLeish
|
"Kupu
Malam dan Biniku"
|
Maret
1943
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pembangoenan, 25 Mei 1946; digabung dalam Kerikil-Kerikil
Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Lagu
Biasa"
|
Maret
1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Lagu
Siul"
|
28
November 1945
|
Digabung
dalam Deru Campur Debu; dalam dua bagian; bagian kedua is the same as
"Tak Sepadan"
|
"Malam"
|
1945
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Desember 1946; digabung dalam Kerikil-Kerikil
Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Malam
di Pegenungan"
|
1947
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 June 1947; digabung dalam Deru
Campur Debu
|
("Mari")
|
1949
|
|
"Merdeka"
|
13
Juli 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Mirat
Muda, Chairil Muda"
|
1949
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Ipphos Report, Februari 1949
|
("Mulutmu
Mencubit Mulutku")
|
12
Juli 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Nisan"
|
Oktober
1942
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Nocturno
(Fragment)"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru
Campur Debu
|
"Orang
Berdua"
|
8
Januari 1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pembangoenan, 25 Januari 1946; digabung dalam Deru
Campur Debu; juga berjudul "Dengan Mirat"
|
"Pelarian"
|
Februari
1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Pemberian
Tahu"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Siasat, 4 Januari 1947; kemudian termasuk dalam
Kisah, Mei 1955; bagian dari artikel "Tiga Muka Satu Pokok"
|
"Penerimaan"
|
Maret
1943
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pembangoenan, 10 Desember 1945; digabung dalam Kerikil-Kerikil
Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru Campur Debu
|
"Penghidupan"
|
Desember
1942
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Perhitungan"
|
16
April 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Perjurit
Jaga Malam"
|
1948
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Siasat, 2 Januari 1949; digabung dalam Kerikil-Kerikil
Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Tiga Menguak Takdir
|
"Persetujuan
dengan Bung Karno"
|
1948
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Mimbar Indonesia, 10 November 1948; digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Puncak"
|
1948
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Siasat, 9 Januari 1949; juga diterbitkan dalam Internasional,
Januari 1949; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan
yang Putus
|
"Rumahku"
|
27
April 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Sajak
Buat Basuki Resobowo"
|
28
Februari 1947
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 April 1947; digabung dalam Tiga
Menguak Takdir; oertama kali diterbitkan dengan "Sorga" sebagai
"Dua Sajak Buat Basuki Resobowo"
|
"Sajak
Putih"
|
18
Januari 1944
|
Digabung
dalam Deru Campur Debu dan Tiga Menguak Takdir
|
"Sebuah
Kamar"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru
Campur Debu
|
("Selama
Bulan Menyinari Dadanya Jadi Pualam")
|
1948
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Siasat, 19 Desember 1948
|
"Selamat
Tinggal"
|
12
Juli 1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru
Campur Debu
|
"Sendiri"
|
Februari
1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Senja
di Pelabuhan Kecil"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 Januari 1947; digabung dalam Tiga
Menguak Takdir
|
"Sia-Sia"
|
Februari
1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru
Campur Debu
|
"Siap-Sedia"
|
1944
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Asia Raja, 1944;
kemudian diterbitkan dalam Keboedajaan Timoer II, 1944
|
"Situasi"
|
1946
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 November 1946
|
"Sorga"
|
25
Februari 1947
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 April 1947; digabung dalam Deru
Campur Debu; pertama kali diterbitkan dalam "Sajak Buat Basuki
Resobowo" sebagai "Dua Sajak Buat Basuki Resobowo"
|
"Suara
Malam"
|
Februari
1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
("Sudah
Dulu Lagi Terjadi Begini")
|
1948
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Siasat, 12 Desember 1948; digabung dalam Kerikil-Kerikil
Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Taman"
|
Maret
1943
|
Digabung
dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
|
"Tuti
Artic"
|
1947
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Juni 1947; digabung dalam Deru
Campur Debu
|
"Yang
Terampas dan Yang Luput"
|
1949
|
Pertama
kali diterbitkan dalam Mutiara, 15 Mei 1949; juga diterbitkan dalam Karya
(Mei 1949) dan Internasional (Juni 1949); digabung dalam Kerikil-Kerikil
Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Tiga Menguak Takdir;
diterbitkan dengan tiga nama yang berbeda; nama alternatifnya adalah
"Yang Terampas dan Yang Putus" dan "Buat Mirat"
|
II. Puisi
1. Pengertian
Secara
etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang
artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry
yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet,
Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari
Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet
berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir
menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang
berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan,
guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Shahnon Ahmad
(dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya
dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1)
Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah
dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun
secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan
unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
(2)
Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal.
Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik
dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah
rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan
orkestra bunyi.
(3)
Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang
imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden
mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang
bercampur-baur.
(4)
Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia
secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya,
dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya
selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya
penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut
secara teratur).
(5)
Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah
dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan
menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak,
percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai.
Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
Dari
definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun
tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan
bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu
sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada,
irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan
yang bercampur-baur.
2. Unsur-unsur
Puisi
Struktur Fisik
Puisi
Struktur fisik puisi, atau terkadang
disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair
untuk mengungkapkan hakikat puisi.
Adapun struktur
fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
(1)
Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak
dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi
yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik.
Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2)
Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan
banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan
kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan
urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa
puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal,
penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis,
penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh
kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno),
dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
(3)
Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan
imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca
seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4)
Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal
kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll.,
sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat
hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5)
Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan
efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya
akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun
macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi,
sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6)
Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan
bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup
(1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis
pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi,
persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh,
repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan
kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya
bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
Struktur
Batin Puisi
Adapun struktur
batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.
(1)
Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah
hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata,
baris, bait, maupun makna keseluruhan.
(2)
Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang
terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar
belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan,
agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia,
pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan
tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada
kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja,
tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan
kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3)
Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga
berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada
menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah,
menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap
bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4)
Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang
mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum
penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
3.
Jenis-jenis Puisi
Puisi dapat dibedakan menjadi 2
jenis yaitu puisi model lama dan puisi model baru.
1. Merupakan
puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
2. Disampaikan
lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
3. Sangat terikat
oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun
rima.
4. Tidak ada
pengarangnya (anonim)
5. Isinya bersifat
istana sentris.
6. Bahasanya
statis, dan sedikit mengalami perubahan.
7. Sifat dan
bahasanya kedaerahan.
Category puisi lama adalah :
1. Mantra
adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
2. Pantun
adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris
terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya
sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak,
muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.
3. Karmina
adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
4. Seloka
adalah pantun berkait.
5. Gurindam
adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi
nasihat.
6. Syair
adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak
a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
7. Talibun
adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.
b. PUISI BARU
Puisi baru bentuknya lebih bebas
daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.
Ciri –Ciri
puisi baru adalah sebagai berikut :
1. Puisi
baru ada pengarangnya.
2. Puisi baru
berkisar untuk umum.
3. Bahasanya
dinamis.
4. Yang banyak
mempengaruhi bahasanya adalah Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda.
5. Mengutamakan
isi.
6. Jumlah baris
dalam tiap bait bebas.
7. Rima lebih
bebas.
8. Irama lebih
bebas.
Category puisi baru adalah :
1. Balada
adalah puisi berisi kisah/cerita.
2. Himne
adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
3. Ode
adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.
4. Epigram
adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.
5. Roman
adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.
6. Elegi
adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.
7. Satire
adalah puisi yang berisi sindiran/kritik.
4. Memaknai Puisi “AKU”
Aku
Karya
Chairil Anwar, Sastrawan Angkatan 1945
1. Kalau
sampai waktuku
Ku tak mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
2. Tidak
perlu sedu sedan
3. Aku
ini hewan jalang
Dari kumpulannya terbuang
4. Biar
peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang
5. Luka
dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
6. Dan
aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
·
Analisis Makna
1. Tema
Pada puisi ini, penyair tidak pernah
menyebutkan tema yang ditulisnya. Akan tetapi kita dapat mengetahui tema pada
puisi ini dengan membacanya secara keseluruhan dengan cermat. Jika kita melihat
pada bait keempat puisi tersebut yaitu “Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap
meradang-menerjang”, dapat kita simpulkan bahwa tema yang terdapat pada
puisi dengan judul “AKU” yaitu tetang semangat perjuangan.
2. Nada
Sikap penyair
terhadap pembacanya dapat kita lihat pada bait pertama
yang terdapat pada puisi “AKU” tersebut. Sikapnya yaitu penyair atau Chairil
Anwar merasa tidak peduli dengan semua orang yang pernah mendengar
ataupun membaca puisinya atau hasil karyanya. Entah mereka berkomentar baik
atau buruk, atau bahkan para pembaca memujinya.
3. Rasa
Pada puisi “AKU” Chairil Anwar
mengekspresikan bahwa dirinya ingin bebas tanpa terikat oleh siapapun sampai
akhir hayatnya. Bahkan apabila dia terluka, akan ia bawa lari sampai luka
tersebut hilang pedih dan perinya. Ia mempunyai pandangan bahwa dengan luka
tersebut dia bisa lebih berkreasi lagi dan bahkan ia ingin bertahan hidup
sampai seribu tahun lagi’
4. Amanat
Amanat yang dapat kita simpulkan
dari puisi “AKU” karya Chairil Anwar tersebut yaitu :
- Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan menghadang.
- Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannya saja.
- Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
5. Diksi
Ada beberapa pemilihan kalimat yang
dilakukan oleh penyair atau Chairil Anwar pada puisi “AKU, yaitu :
·
“Kalau sampai waktuku”. Kalimat ini
dapat diartikan menjadi “Kalau aku mati”.
·
“Tak perlu sedu sedan”. Kalimat ini
dapat diartikan menjadi “tak ada gunannya kesedihan itu”
·
“Tidak juga kau” dapat berarti
“tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
6. Pengimajian
Di dalam puisi ini terdapat beberapa
pengimajian, diantaranya :‘Ku mau tak seorang ’kan merayu (Imaji
Pendengaran)‘Tak perlu sedu sedan itu’ (Imaji Pendengaran)‘Biar peluru menembus
kulitku’ (Imaji Rasa)‘Hingga hilang pedih perih’ (Imaji Rasa).
7. Majas
Pada puisi “AKU” karya Chairil Anwar
terdapat beberapa kalimat yang menggunakan majas hiperbola :
Aku ini
binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Aku mau hidup
seribu tahun lagi
8. Makna
Kiasan Konotatif Pada Setiap
Bait
·
Bait pertama
Kalau sampai waktuku
Ku tak mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Dalam
bait ini menjelaskan bahwa apabila si “aku” (penyair atau Chairil Anwar) sudah
sampai waktunya (kematiannya) dia tidak ingin seorang pun merayu dirinya dalam
artian memuji-mujinya atau mengagungkan dirinya. Dia tidak peduli kepada siapa
saja yang memujinya. Kata “kau” disini menggambarkan seseorang yang dekat
dengan si “aku” (orang tua bahkan kekasihnya) dan juga para pembaca atau para
penyimak puisi ini.
·
Bait Kedua
Tidak perlu sedu sedan
Chairil
berharap apabila telah tiba saat untuknya menghadap sang Khalik, orang-orang
terdekat bisa melepaskannya dengan ikhlas.
·
Bait Ketiga
Aku ini hewan jalang
Dari kumpulannya terbuang
Chairil
menyebutkan bahwa dirinya hanyalah hewan jalang, suatu symbol kehinaan. Dia
menggambarkan dirinya sendiri seolah seperti ‘hewan jalang’ yang hidup bebas,
seenaknya sendiri serta bebas, tidak ada seorangpun yang mengatur kehidupannya.
Dan dia dari kumpulan yang terbuang, karena dia tidak mau mengikuti peraturan
atau ikatan yang terdapat di kumpulannya tersebut.
·
Bait Keempat
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang
Makna
dari bait diatas adalah dia tidak peduli dengan segala rintangan atau halangan
yang akan ia hadapi. Meskipun peluru menembus kulitnya dia tidak perduli dan
tetap akan memberontak, serta tetap meradang-menerjang seperti hewan jalang.
·
Bait Kelima
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Meskipun
beribu rintangan yang dihadapinya penuh dengan siksaan, dia akan menghadapinya
atau menanggungnya sendiri. Dan dia yakin jika saatnya tiba pasti semua pedih
dan perih yang ia rasakan akan hilang.
·
Bait Keenam
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Bait
tersebut memiliki makna bahwa penulis tetap tidak peduli dengan semuanya.
Dan ia berharap walaupun raganya telah tiada, tapi dia ingin karyanya tetap
hidup selamanya. Atau kalimat “Aku mau hidup seribu tahun lagi” dapat diartikan
sebagai bentuk kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya, bukan
fisiknya.
Daftar Pustaka