Jumat, 27 Maret 2015

Memaknai Puisi


Laporan  memaknai  puisi  “aku”
I. Sastrawan dan Hasil karyanya
Chairil Anwar
1.     Profil
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya. Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun. Sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya. Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman. Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia sastra. Walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia. Penyair dengan nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di Majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada akhir tahun 1948. Makam Chairil di TPU Karet Bivak Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949; penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyarah yang terdapat dalam puisi berjudul “Jang Terampas Dan Jang Putus". Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949, sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan YangPutus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
2.     Hasil karya

Puisi asli Chairil Anwar
Judul
Ditulis
Catatan
"1943"
1943
Diterbitkan dalam Pandji Poestaka, 1 Januari 1944
"?"
24 Juli 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Ajakan"
Februari 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus; digunakan untuk pidato Anwar di radio pada tahun 1943
"Aku"
Maret 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru Campur Debu; dikenal juga sebagai "Semangat"
"Aku"
8 Juni 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
("Aku Berada Kembali")
1949
Pertama kali diterbitkan dalam Serikat, 1949
"Aku Berkisar Antara Mereka"
1949
Pertama kali diterbitkan dalam Ipphos Report, Februari 1949
"Bercerai"
7 Juni 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"'Betina'-nya Affandi"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947
"Buat Album D.S."
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru Campur Debu
"Buat Gadis Rasid"
1948
Pertama kali diterbitkan dalam Siasat, 2 Januari 1949; juga diterbitkan dalam Internasional, Januari 1949; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus; dikenal juga sebagai "Buat Gadis"
"Buat Nyonya N."
1949
Pertama kali diterbitkan dalam Ipphos Report, Februari 1949
"Catastrophe"
23 September 1945
Pertama kali diterbitkan dalam Seroean Noesa, 1946; dalam bahasa Belanda; Jassin mempertanyakan keaslian puisi tersebut
"Catetan Tahun 1946"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Februari 1947; digabung dalam Deru Campur Debu dan Tiga Menguak Takdir
"Cerita"
9 Juni 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Cerita Buat Dien Tamaela"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 November 1946; digabung dalam Deru Campur Debu dan Tiga Menguak Takdir
"Cintaku Jauh di Pulau"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru Campur Debu dan Tiga Menguak Takdir
"Dalam Kereta"
15 Maret 1944

"Dari Dia"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947
"Dendam"
13 Juli 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus


"Derai-Derai Cemara"



1949
Pertama kali diterbitkan dalam Mutiara, 15 Mei 1949; juga diterbitkan dalam Internasional, Juni 1949; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Tiga Menguak Takdir; terkadang diterbitkan tanpa judul
"Dimesjid"
29 Juni 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Diponegoro"
Februari 1943
Pertama kali diterbitkan dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Doa"
13 November 1943
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 November 1946; digabung dalam Deru Campur Debu
"Hampa"
14 Mei 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru Campur Debu
"Hukum"
Maret 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Ina Mia"
1948
Pertama kali diterbitkan dalam Siasat, 26 Desember 1948; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Isa"
12 November 1943
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 November 1946; digabung dalam Deru Campur Debu
"Kabar dari Laut"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 Januari 1947; digabung dalam Deru Campur Debu
"Kawanku dan Aku"
5 Juni 1943
Pertama kali diterbitkan dalam Pembangoenan, 10 Januari 1946; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru Campur Debu
"Kenangan"
19 April 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Kepada Kawan"
30 November 1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Desember 1946
"Kepada Pelukis Affandi"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru Campur Debu
"Kepada Peminta-Peminta"
Juni 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru Campur Debu; menurut Jassin, karya tersebut merupakan plagiat dari puisi "Tot den Arme" ("To the Poor") karya Willem Elsschot
"Kepada Penyair Bohang"
1945
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru Campur Debu
"Kesabaran"
April 1943
Pertama kali diterbitkan dalam Pembangoenan, 10 Desember 1945; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru Campur Debu
("Kita Guyah Lemah")
Juli 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus; digunakan untuk pidatonya secara terbuka pada tahun 1943
"Krawang-Bekasi"
1948
Pertama kali diterbitkan dalam Mimbar Indonesia, 20 November 1948; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Tiga Menguak Takdir; juga dikenal sebagai "Kenang, Kenanglah Kami"; menurut Jassin, karya tersebut merupakan plagiat dari puisi "The Young Dead Soldiers" karya Archibald MacLeish
"Kupu Malam dan Biniku"
Maret 1943
Pertama kali diterbitkan dalam Pembangoenan, 25 Mei 1946; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Lagu Biasa"
Maret 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Lagu Siul"
28 November 1945
Digabung dalam Deru Campur Debu; dalam dua bagian; bagian kedua is the same as "Tak Sepadan"
"Malam"
1945
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Desember 1946; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Malam di Pegenungan"
1947
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 June 1947; digabung dalam Deru Campur Debu
("Mari")
1949

"Merdeka"
13 Juli 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Mirat Muda, Chairil Muda"
1949
Pertama kali diterbitkan dalam Ipphos Report, Februari 1949
("Mulutmu Mencubit Mulutku")
12 Juli 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Nisan"
Oktober 1942
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Nocturno (Fragment)"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru Campur Debu
"Orang Berdua"
8 Januari 1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pembangoenan, 25 Januari 1946; digabung dalam Deru Campur Debu; juga berjudul "Dengan Mirat"
"Pelarian"
Februari 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Pemberian Tahu"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Siasat, 4 Januari 1947; kemudian termasuk dalam Kisah, Mei 1955; bagian dari artikel "Tiga Muka Satu Pokok"
"Penerimaan"
Maret 1943
Pertama kali diterbitkan dalam Pembangoenan, 10 Desember 1945; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru Campur Debu
"Penghidupan"
Desember 1942
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Perhitungan"
16 April 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Perjurit Jaga Malam"
1948
Pertama kali diterbitkan dalam Siasat, 2 Januari 1949; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Tiga Menguak Takdir
"Persetujuan dengan Bung Karno"
1948
Pertama kali diterbitkan dalam Mimbar Indonesia, 10 November 1948; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Puncak"
1948
Pertama kali diterbitkan dalam Siasat, 9 Januari 1949; juga diterbitkan dalam Internasional, Januari 1949; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Rumahku"
27 April 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Sajak Buat Basuki Resobowo"
28 Februari 1947
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 April 1947; digabung dalam Tiga Menguak Takdir; oertama kali diterbitkan dengan "Sorga" sebagai "Dua Sajak Buat Basuki Resobowo"
"Sajak Putih"
18 Januari 1944
Digabung dalam Deru Campur Debu dan Tiga Menguak Takdir
"Sebuah Kamar"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Januari 1947; digabung dalam Deru Campur Debu
("Selama Bulan Menyinari Dadanya Jadi Pualam")
1948
Pertama kali diterbitkan dalam Siasat, 19 Desember 1948
"Selamat Tinggal"
12 Juli 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru Campur Debu
"Sendiri"
Februari 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Senja di Pelabuhan Kecil"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 Januari 1947; digabung dalam Tiga Menguak Takdir
"Sia-Sia"
Februari 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Deru Campur Debu
"Siap-Sedia"
1944
Pertama kali diterbitkan dalam Asia Raja, 1944; kemudian diterbitkan dalam Keboedajaan Timoer II, 1944
"Situasi"
1946
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 15 November 1946
"Sorga"
25 Februari 1947
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 April 1947; digabung dalam Deru Campur Debu; pertama kali diterbitkan dalam "Sajak Buat Basuki Resobowo" sebagai "Dua Sajak Buat Basuki Resobowo"
"Suara Malam"
Februari 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
("Sudah Dulu Lagi Terjadi Begini")
1948
Pertama kali diterbitkan dalam Siasat, 12 Desember 1948; digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Taman"
Maret 1943
Digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
"Tuti Artic"
1947
Pertama kali diterbitkan dalam Pantja Raja, 1 Juni 1947; digabung dalam Deru Campur Debu
"Yang Terampas dan Yang Luput"
1949
Pertama kali diterbitkan dalam Mutiara, 15 Mei 1949; juga diterbitkan dalam Karya (Mei 1949) dan Internasional (Juni 1949); digabung dalam Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus dan Tiga Menguak Takdir; diterbitkan dengan tiga nama yang berbeda; nama alternatifnya adalah "Yang Terampas dan Yang Putus" dan "Buat Mirat"

II. Puisi
1. Pengertian
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1)   Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
(2)   Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
(3)   Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
(4)   Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).
(5)   Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
2. Unsur-unsur Puisi
Struktur Fisik Puisi
Struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi.
Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
(1)   Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2)   Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
(3)   Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4)   Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5)   Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6)   Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
 Struktur Batin Puisi
Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.
(1)   Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
(2)   Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3)   Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4)   Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari  sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
3.  Jenis-jenis Puisi
Puisi dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu puisi model lama dan puisi model baru.
         a.     PUISI LAMA
1.     Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
2.    Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
3.    Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.
4.    Tidak ada pengarangnya (anonim)
5.    Isinya bersifat istana sentris.
6.    Bahasanya statis, dan sedikit mengalami perubahan.
7.    Sifat dan bahasanya kedaerahan.
Category puisi lama adalah :
1.     Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
2.    Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.
3.    Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
4.    Seloka adalah pantun berkait.
5.    Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
6.    Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
7.    Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.
Ciri –Ciri puisi baru adalah sebagai berikut :
1.     Puisi baru ada pengarangnya.
2.    Puisi baru berkisar untuk umum.
3.    Bahasanya dinamis.
4.    Yang banyak mempengaruhi bahasanya adalah Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda.
5.    Mengutamakan isi.
6.    Jumlah baris dalam tiap bait bebas.
7.    Rima lebih bebas.
8.    Irama lebih bebas.
Category  puisi baru adalah :
1.     Balada adalah puisi berisi kisah/cerita.
2.    Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
3.    Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.
4.    Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.
5.    Roman adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.
6.    Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.
7.    Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik.
4.  Memaknai Puisi “AKU”
Aku
Karya Chairil Anwar, Sastrawan Angkatan 1945
1.     Kalau sampai waktuku
Ku tak mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
2.     Tidak perlu sedu sedan
3.     Aku ini hewan jalang
Dari kumpulannya terbuang
4.     Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang
5.     Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
6.     Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

·  Analisis Makna
1.     Tema
Pada puisi ini, penyair tidak pernah menyebutkan tema yang ditulisnya. Akan tetapi kita dapat mengetahui tema pada puisi ini dengan membacanya secara keseluruhan dengan cermat. Jika kita melihat pada bait keempat puisi tersebut yaitu “Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap meradang-menerjang”, dapat kita simpulkan bahwa tema  yang terdapat pada puisi dengan judul “AKU” yaitu tetang semangat perjuangan.
2.     Nada
Sikap penyair terhadap pembacanya dapat kita lihat pada bait pertama yang terdapat pada puisi “AKU” tersebut. Sikapnya yaitu penyair atau Chairil Anwar  merasa tidak peduli dengan semua orang yang pernah mendengar ataupun membaca puisinya atau hasil karyanya. Entah mereka berkomentar baik atau buruk, atau bahkan para pembaca  memujinya.
3.     Rasa
Pada puisi “AKU” Chairil Anwar mengekspresikan bahwa dirinya ingin bebas tanpa terikat oleh siapapun sampai akhir hayatnya. Bahkan apabila dia terluka, akan ia bawa lari sampai luka tersebut hilang pedih dan perinya. Ia mempunyai pandangan bahwa dengan luka tersebut dia bisa lebih berkreasi lagi dan bahkan ia ingin bertahan hidup sampai seribu tahun lagi’
4.     Amanat
Amanat yang dapat kita simpulkan dari puisi “AKU” karya Chairil Anwar tersebut yaitu :
  • Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun   rintangan menghadang.
  • Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannya saja.
  • Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
5.     Diksi
Ada beberapa pemilihan kalimat yang dilakukan oleh penyair atau Chairil Anwar pada puisi “AKU, yaitu :
·  “Kalau sampai waktuku”. Kalimat ini dapat diartikan menjadi “Kalau aku mati”.
·  “Tak perlu sedu sedan”. Kalimat ini dapat diartikan menjadi “tak ada gunannya kesedihan itu”
·  “Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
6.     Pengimajian
Di dalam puisi ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :‘Ku mau tak seorang ’kan merayu (Imaji Pendengaran)‘Tak perlu sedu sedan itu’ (Imaji Pendengaran)‘Biar peluru menembus kulitku’ (Imaji Rasa)‘Hingga hilang pedih perih’ (Imaji Rasa).
7.     Majas
Pada puisi “AKU” karya Chairil Anwar terdapat beberapa kalimat yang menggunakan majas hiperbola :
Aku ini binatang jalang 
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku 
Aku tetap meradang menerjang
Aku mau hidup seribu tahun lagi 
8.     Makna Kiasan Konotatif Pada Setiap Bait
·        Bait pertama
Kalau sampai waktuku
Ku tak mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Dalam bait ini menjelaskan bahwa apabila si “aku” (penyair atau Chairil Anwar) sudah sampai waktunya (kematiannya) dia tidak ingin seorang pun merayu dirinya dalam artian memuji-mujinya atau mengagungkan dirinya. Dia tidak peduli kepada siapa saja yang memujinya. Kata “kau” disini menggambarkan seseorang yang dekat dengan si “aku” (orang tua bahkan kekasihnya) dan juga para pembaca atau para penyimak puisi ini.
·        Bait Kedua
Tidak perlu sedu sedan
Chairil berharap apabila telah tiba saat untuknya menghadap sang Khalik, orang-orang terdekat bisa melepaskannya dengan ikhlas.
·        Bait Ketiga
Aku ini hewan jalang
Dari kumpulannya terbuang
Chairil menyebutkan bahwa dirinya hanyalah hewan jalang, suatu symbol kehinaan. Dia menggambarkan dirinya sendiri seolah seperti ‘hewan jalang’ yang hidup bebas, seenaknya sendiri serta bebas, tidak ada seorangpun yang mengatur kehidupannya. Dan dia dari kumpulan yang terbuang, karena dia tidak mau mengikuti peraturan atau ikatan yang terdapat di kumpulannya tersebut.
·        Bait Keempat
 Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang
Makna dari bait diatas adalah dia tidak peduli dengan segala rintangan atau halangan yang akan ia hadapi. Meskipun peluru menembus kulitnya dia tidak perduli dan tetap akan memberontak, serta tetap meradang-menerjang seperti hewan jalang.
·        Bait Kelima 
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Meskipun beribu rintangan yang dihadapinya penuh dengan siksaan, dia akan menghadapinya atau menanggungnya sendiri. Dan dia yakin jika saatnya tiba pasti semua pedih dan perih yang ia rasakan akan hilang.
·        Bait Keenam
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Bait tersebut memiliki makna bahwa penulis tetap  tidak peduli dengan semuanya. Dan ia berharap walaupun raganya telah tiada, tapi dia ingin karyanya tetap hidup selamanya. Atau kalimat “Aku mau hidup seribu tahun lagi” dapat diartikan sebagai bentuk kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya, bukan fisiknya.

Daftar Pustaka